Alhamdulilah, satu resolusi di tahun ini tercapai sudah, yaitu melancong ke Singapura. Mengapa Singapur? Karena ini negeri yang paling dekat, paling terjangkau, dan paling tepat bagi pelancong awam seperti saya. Yang membuat perjalanan ini bahagia & tak terlupakan adalah karena saya berpergian bersama teman-teman dekat, yang sama-sama gagap sekaligus terpukau dengan keindahan negeri orang. Tiket sudah di tangan sejak 2013, reservasi hostel sudah dibuat, rupiah sudah ditukar, rencana perjalanan pun sudah dicatat rapi, maka berangkatlah kami di pagi Jumat yang cerah, 21 Maret 2014. Rasanya tak perlu lah dibahas rinci kemana saja saya pergi selama di Singapur, tak perlu ditanyakan pula dimana penginapan/tempat makan enak serta murah, karena informasi tentang semua itu sudah sangat berlimpah di internet. Saya lebih suka bercerita tentang apa yang saya rasa dan pikir, serta kesan yang tersimpan di hati hingga hari terakhir saat melambaikan tangan pada Singapura.
Negeri ini tidak bisa dipungkiri merupakan negeri para pendatang. Berbagai etnis dengan keanekaragaman bahasa-agama-citarasa hidup rukun guyub di pulau mungil ini. Semuanya bekerja keras, semua bekerja lekas, melangkahkan kakinya panjang-panjang, mengikuti detik perkembangan baru dari layar gadget terkini. Sepuluh menit pertama saya masih terkagum-kagum dengan cepatnya kereta MRT meluncur, serta terheran-heran melihat warga lansia yang menyapu jalan, mengelap meja, dan membersihkan toilet. Namun demikian, negeri ini memang terbukti ramah, tidak hanya orang-orangnya, tetapi semua fasilitas publik pun friendly. Petunjuk-petunjuk jalan terpampang jelas terbaca, baik di MRT maupun stasiun pemberhentian, begitu pula di halte bus dan jalan umum. Lift tersedia dimana-mana, memudahkan akses bagi penyandang disabilitas serta orang yang membawa anak kecil atau banyak barang.
Mau kemana saja mudah |
![]() |
Pintu MRT = Pintu Kemana Saja |
Satu dari sekian ribu eskalator curam |
Singapur negeri yang tertib aturan. Saya belajar lebih banyak tentang negeri ini setelah berkenalan dengan Sue, seorang kawan baru warga asli Singapur, yang dengan senang hati mengajak kami berkeliling tempat-tempat cantik. Diceritakannya bagaimana kehidupan warga Singapur yang serba diatur oleh pemerintah, yang bagaimanapun juga ditujukan untuk kemaslahatan bersama. Misalnya, orang tidak bisa sembarang beli mobil, selain harus membayar pajak kendaraan, juga harus membayar pajak bensin setiap kali isi tangki serta retribusi parkir yang harus dibayar sewanya tiap bulan. Oleh karena Singapur minim sumber daya alam, air bersih dan api masak pun mesti didatangkan dari Malaysia sehingga biaya rumah tangga cukup tinggi. Jangan harap bisa hidup enak di Singapur jika pendapatan kurang dari SGD 2,500 per bulan. Biaya hidup yang tinggi juga membuat warga Singapur putar otak untuk bisa hidup hemat, misalnya banyak sekali warga yang menyeberang ke Pulau Batam untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga karena harga yang lebih murah. Sedari muda pun warga Singapur terbiasa hidup mandiri, tanpa pembantu rumah tangga ataupun baby sitter, mereka ringkas menyelesaikan urusan domestik, serta pintar membagi waktu sehingga energi & pikiran bisa difokuskan untuk hal-hal yang produktif.
Sue, gadis manis berambut pirang |
Berjalan kaki di Singapur sangat menyenangkan. Bagaimana tidak enjoy, jalan-jalannya bersih, tidak ada polisi tidur, tak ada jalan berlubang/berkubang, nggak ada becek maka sepatu pun awet bersih, trotorarnya juga lebar dan teduh. Menghirup nafas tidak khawatir bau kendaraan bermotor, sepeda motor pun langka, which is good. Berjalan-jalan di malam hari pun aman, tak khawatir orang usil ataupun gerombolan lelaki bersuit-suit tiap kali ada perempuan melintas. Tidur malam juga nyenyak, tak ada suara bising adzan atau pengajian. Semuanya saling respek.
Terdapat banyak peraturan tak tertulis di tempat umum, misalnya jika ingin berjalan lambat ambilah jalur sebelah kiri agar membuka jalan bagi orang lain yang sedang bergegas. Begitu pula etika menggunakan eskalator, jangan berdiri santai di jalur kanan, berdirilah di bagian kiri sehingga orang lain pun nyaman untuk mendahului. Tidak heran sebagian besar warga Singapur langsing-langsing badannya, mereka terbiasa jalan kaki jauh-jauh, naik turun tangga/eskalator, dan sepertinya tidak suka ngemil (mungkin selain untuk berhemat, juga dilarang keras makan/minum di transportasi umum). Merokok pun tidak boleh di sembarang tempat. Saya sempat mampir ke kios kecil di area hawker center dan melihat ngeri pada gambar-gambar yang ditempel di setiap kemasan rokok. Jika tidak ditempeli gambar, terdapat peringatan "SMOKING KILLS" yang ditulis besar-besar dan menutupi separuh bungkus rokok, tentu membuat orang berpikir 2x sebelum membeli.
Nikmatnya berjalan-jalan di Singapur membuat betah siapapun yang berkunjung, membuat iri warga negara lain yang belum semaju Singapura, serta membangkitkan mimpi bagi individu yang ingin mengadu nasib di negeri ini. Kami menghabiskan waktu malam terbaik di Singapur memandang cantiknya pertunjukan sinar laser di area Marina Bay Sands, menangkap momen indah dalam jepret kamera, dan menikmati tiap detik tawa bersama kawan-kawan baik. Sampai jumpa lagi, Singapura~
No comments:
Post a Comment