"Rasanya seperti baru kemarin aku melihat punggung ayahku dari depan pintu rumah. Sekarang setiap pagi menjelang, ayah yang melihat punggungku dari depan rumah."
Tidak terasa saya mengalami hal sama yang pernah dialami orang tuaku. Sebagai kaum proletar (sampai sekarang), saya sadar semangat bekerja keras tidak boleh luntur untuk bisa mencapai puncak piramida sosial. Jalan menuju puncak tersebut (kebebasan finansial) memang sangat sulit. Kadang nasib terasa seperti dadu yang dilempar oleh Tuhan, berhenti di posisi yang tidak terduga. Namun apapun nasib yang kita miliki, harus tetap dijalani dengan dengan sukacita.
Saya baru membaca sebuah buku tentang "Management by Love". Salah satu hal menarik yang saya serap dalam-dalam adalah:
Mencintai pekerjaan juga mempunyai dampak terhadap hasil kerja. Seperti angka 10 yang kita dapat sewaktu pendidikan dasar (SD, SMP, SMA), kita harus berusaha mendapatkan angka terbaik. Namun karena kita adalah manusia tidak sempurna, maka setidaknya kita bisa mendapatkan angka 9. Maka kualitas menjadi "Mr. 9" hendaknya menjadi ambisi kita.
Apapun yang terjadi di dalam lingkungan kita, apakah kita memiliki atasan yang kurang baik atau rekan-rekan yang menjengkelkan maupun fasilitas perusahaan yang kurang berkenan di hati, kita harus selalu memaksimalkan diri untuk tetap menjadi "Mr. 9". Jangan menangisi dan/atau mengutuki keadaan. Apalagi kemudian menjadikannya alasan untuk menurunkan standar mutu kerja, dan menjadikan kita sebagai "Mr. 4" (yang berarti kita dengan sengaja berprestasi di bawah kompetensi kita). Hal ini akan merugikan diri sendiri karena menurunkan martabat maupun kualitas yang Tuhan telah anugerahkan pada kita, yaitu menjadi "Mr. 9".
No comments:
Post a Comment